Friday, January 06, 2012

Bunda, silahkan pilih : Job VS Family



Satu hari saya bertemu seorang pria berbadan tegap, usianya berkepala tiga. Karena ada beberapa hal yang harus kami diskusikan, kami akhirnya bertemu. Di tengah perbincangan, beberapa kali handphonenya berdering. Sms masuk dari istrinya. Sambil senyum-senyum ia baca dalam hati. Ia pun tak mampu menyembunyikannya. Ia kemudian bercerita bahwa saat ini keluarganya sedang dipenuhi kebahagiaan tiada terkira. Buah hati. Istrinya baru melahirkan anak pertama mereka. Seorang bayi cantik yang baru berumur 8 bulan. Ah, cantik sekali. Aku melihat beberapa foto si kecil dari hanphone sang Ayah.

Lalu kutanya bagaimana kabar istri. Bagaimana juga ia membagi waktu antara mengurus si kecil dan rumah tangganya sementara ia harus mengajar di satu sekolah. Dari situlah ada kisah Bunda yang luar biasa. Sangat luar biasa.

Bunda melahirkan anak pertamanya sesar. Perjuangan yang luar biasa. Ia harus menahan sakit dan merelakan beberapa senti perutnya dijahit. Butuh istirahat panjang seharusnya, biasanya sekolah-sekolah memberikan cuti 2-3 bulan. Tapi ini memang sekolah luar biasa, hanya memberi izin 1 bulan saja. Singkat cerita setelah 1 bulan si Bunda dipanggil kepala sekolah, saya sedikit lupa alasan kenapa ia dipanggil. Tapi di ruangan itu Bunda diminta untuk memilih “Bunda, silahkan pilih, fokus mengajar atau fokus pada keluarga?” Astagfirullah. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sangat miris. Apalagi ketika si Ayah bercerita bahwa kepala sekolahnya seorang perempuan berjilbab lebar dan aktif di salah satu komunitas agama. Seharusnya ia paham dengan agama. Seharusnya ia sadar apa yang ia katakana. Pantaskah seorang perempuan yang sudah memiliki suami dan anak, berkerudung besar meminta seorang Bunda memilih antara pekerjaan dan keluarga. Apa maksudnya?

Sang Ayah geram ketika mendengar itu. Meledaklah emosinya sebagai kepala keluarga. Ayah pun meminta Bunda untuk menyampaikan apa-apa yang ia katakan kepada kepala sekolah itu, besok.

Esoknya, “Bu, mulai hari ini saya berhenti bekerja. Saya memilih keluarga, karena bagi saya, disitulah ladang amal seorang istri.” Keputusan yang luar biasa. Bunda tak takut kelaparan. Bunda tak takut nantinya tidak ada lagi pemasukan rutin perbulannya. Yang Bunda takut hanya satu, ia takut melalaikan tugasnya sebagai Bunda.

Mario Teguh menginspirasi sang Ayah dan aku setuju. “Ingin punya keluarga harmonis? Lebih hebat mempunya istri dengan titel tinggi tapi untuk keluarga, dibanding punya istri dengan titel tinggi tapi untuk perusahaan” Seperti itulah kurang lebih. Mungkin bisa diartikan juga seperti ini : tidaklah bangga memiliki istri dengan pendidikan tinggi tapi ia dedikasikan sepenuhnya untuk perusahaan, sementara keluarga ia lupakan. Nampak sia-sia ilmunya ketika ia tidak tahu arti penting keluarga dan arti penting kehadiran Bunda di keluarga.

“Ayah, Bunda sebenarnya ada kesempatan untuk menjadi PNS. Tapi tahukah Ayah? Bunda takut PNS akan melalaikan dan menjauhkan Bunda dari Ayah. Bunda ingin berada disamping Ayah. Kemanapun Ayah pergi” tutur Bunda pada suaminya tercinta. Subhanallah. Tak sadar air mata haru pun menetes dari pria berbadan tegap. Tak henti ia bersyukur. Allah memberinya istri sholehah.

Untuk Bunda dan Calon Bunda, termasuk saya, semoga bisa mengambil pelajaran dari kisah nyata ini 


6 Januari 2012
08.54 PM

Thursday, January 05, 2012

Bunda yang cinta karir.

Satu kisah nyata lagi, masih tentang Bunda.

Siapa yang tak ingin menjadi orang yang berhasil, berpendidikan tinggi, bertitel, memiliki bisnis disana-sini. Singkat kata, memiliki karir yang cemerlang. Aku yakin semua ingin meraihnya. Tapi tak ada artinya, sungguh tak berarti ketika keluarga terlupakan.

Bunda sibuk. Bunda jarang ada di rumah. Bunda jarang memiliki waktu luang untuk sekedar bermain dengan putra satu-satunya. Bunda tahu perkembangan putranya dari baby sitternya. Berpikir positif, mungkin Bunda lakukan ini juga demi kebahagiaan keluarga, agar keluarga tak kekurangan materi.

Suatu hari Bunda dapat kabar bahwa putranya demam. Diketahuilah bahwa putranya terkena Demam Berdarah dan harus di rawat. Tapi saat yang bersamaan Bunda ada agenda pekerjaan di luar kota. Ia titipkan putranya pada baby sitter dan suaminya. Bunda memilih pergi bekerja. Entah apa yang ia pikirkan.

Tak lama Bunda harus menerima penyesalan. Kukira ini bisa menjadi penyesalan seumur hidupnya. Putranya meninggal dunia. Putranya meninggal, tidak dipangkuannya, tapi dipangkuan baby sitternya dan suaminya. Dalam isak tangisnya, ia bermunajat pada Allah, memohon ampun. Ia bersalah, ia akui. Putranya pergi untuk selamanya. Ia bisa apa, putranya sudah pergi, tak akan kembali. Ia kehilangan banyak momen indah bersama putranya.

Untuk para Bunda dan calon Bunda, mari mengambil pelajaran dari kisah ini. Mari menjadi Bunda yang benar-benar Bunda, penuh kasih sayang. Karena sebenarnya, yang keluarga butuhkan hanyalah Bunda yang penuh kasih, yang selalu ada.

Semoga kita tidak termasuk Bunda yang lupa akan tugas dan kodratnya sebagai Bunda.


5 Januari 2012
10.45 PM

Sayangi Ayah Bunda lebih.

Sosoknya sangat aku kagumi. Tegas dan pekerja keras. Bertemu dengannya adalah agenda pertama ketika aku berkunjung ke kota yang penuh dengan kenangan masa muda. Bersamanya aku mendapat banyak ilmu. Ia selalu saja memiliki sudut pandang yang tak pernah terlintas dalam pikiranku. Ia selalu memberi sekantung semangat untuk kubawa pulang.

Ia adalah sosok yang berhasil, baik untuk karir dan keluarga. Aku kagum, sampai pada suatu saat tanpa kuminta ia bercerita tentang satu kisahnya yang tak pernah kusangka. “Aku tidak punya Ayah. Bunda juga. Ayah pergi saat aku berusia satu tahun. Bunda menyusul beberapa bulan kemudian karena kecelakaan. Kakak aku tak ada. Begitu juga adik. Aku tunggal. Yang aku tahu kakek dan nenek adalah Ayah Bundaku.” Tuturnya pada suatu senja di Senin. Hampir tak percaya, selama ini ia berdiri tanpa kasih Ayah Bunda dan ia sangat sukses saat ini, ia sendiri.

Di usia remajanya kakek dan nenek pun dipanggil Allah. Maka benarlah ia sendiri. Tak ada warisan. Semua pekerjaan ia kerjakan, karena ia harus hidup, mulai dari buruh pabrik, menggarap sawah orang, sampai menjadi kuli bangunan pun ia lakukan. Apapun itu asal halal, ia ambil. Disaat susahnya bukan semangat yang ia dapat, tapi desakan untuk berhenti sekolah datang dari sanak saudaranya. Mengayuh becak saja, usul mereka. Tapi yang ia ingat, kakek berpesan untuknya menjadi “orang”. Jika bekerja dengan fisik suatu saat kita akan melemah dan tak mampu, tapi berbagi ilmu kita tidak akan pernah lemah, pahalanya bahkan terus mengalir. Pendapatnya.

“Aku tak tahu wajah Ayah. Aku tak ingat rupa Bunda. Ketika aku jatuh dan butuh semangat, aku menghabiskan waktu di makam kakek dan nenek.” Jelasnya sembari berusaha fokus pada pekerjaan yang ia sedang lakukan saat itu. Ia yakini bahwa ia tidak pernah sendiri, ada Allah yang melihat usaha kita.

Mendengar kisahnya, malulah kita apabila terlalu sering merengek pada Ayah dan Bunda. Memahami kisahnya, yakinilah Allah itu adil dan Maha Mengetahui.

Sedari umur satu tahun ia sendiri. Sekarang, ia miliki keluarga bahagia dengan seorang istri cantik dan anak-anak yang lucu, pendidikan tingkat master, berbisnis ke luar negeri sering ia lakukan, masih banyak lagi. Ia tahu Allah tidak pernah tidur. Subhanallah.

Maka bersyukurlah, ketika Allah mengizinkan kita untuk merasakan kasih sayang Ayah Bunda. Sayangi mereka lebih. Syukuri.

5 Januari 2012
10.21 PM

Bunda kangen. Bunda disini berdoa.

Ia dikaruniai kecerdasan otak dan kelemahlembutan. Kecerdasannya dalam berbagai bidang membuat orang-orang sekitar selalu meminta tolong padanya. Dan ia muslim yang baik, memiliki jiwa penolong. Hampir sempurnalah sifatnya ketika setiap kali ujian datang, ia bersabar. Ketika ia ingin sesuatu, ia berusaha. Ia taat, puasa sunnah senin-kamis dan sholat malam tak pernah ia lewatkan. Seperti itulah sifat dari pria yang ku kenal hampir tujuh tahun ini.

Di usia dua puluh dua tahun ia mendapatkan beasiswa untuk belajar di luar negeri. Seluruh pelajar di Indonesia memimpikan untuk mendapatkan beasiswa ini. Usahanya membuahkan hasil. Beberapa bulan ia tinggal di Amerika. Sementara di tanah air, banyak yang merindukannya untuk segera kembali. Bundanya yang tinggal di sebuah desa terpencil memiliki keterbatasan untuk mendapatkan kabar buah hatinya. Ia begitu merindukan anak laki-laki satu-satunya. Hanya satu cara yang bisa ia lakukan, menghubungi teman-teman putranya untuk mendapatkan kabar. Kerinduannya benar-benar terlukis dari suaranya di telpon. “Tolong sampaikan ya Nak, bunda kangen. Jangan lupa makan, sholat. Jaga kesehatan. Bunda disini selalu mendoakannya,” pesan bunda padaku untuk disampaikan pada putranya. Bunda berharap aku, salah satu teman baik putranya, bisa menghubunginya via email atau chatting.

Selang beberapa bulan, tibalah putra sang Bunda di tanah air. Perawakannya berubah. Cara bicaranya berubah. Dan satu hal yang mengejutkan, “Aku betah disana. Rasanya tidak ingin pulang, ingin tinggal disana. Semuanya teratur,” kurang lebih sepeti itu tuturnya saat aku dan dia pertama kali bertemu. Tak sedikit pun terlintas tentang rindu akan Bunda atau rindu Bunda padanya, sementara Bunda terus khawatir dan menangis karena rindunya yang membuncah pada putranya. Astagfirullah! Kenikmatan dunia terkadang bisa melupakan kita pada banyak hal, termasuk melupa Bunda. Naudzubillah.

Subhanallah ya cinta Bunda pada anaknya. Yakini, ada doa Bunda disetiap langkah kita. Akan sia-sia kita memiliki seribu langkah panjang ke depan tanpa doa dan restu Bunda, karena Ridho Allah ada pada Bunda, orang tua kita.

5 Januari 2012
09.27 PM