Thursday, February 23, 2012

Nak, Bunda Sendiri Disini.

Siang itu hujan. Seperti biasanya, karena ini hujan maka hari-hari pun air turun dari atas sana. Terkadang banyak, terkadang tidak. Tak ada yang bisa memprediksi karena semua yang akan terjadi nanti itu misteri. Seperti itulah istilah yang kebanyakan dari kita gunakan. Bahkan satu detik kedepan pun tak ada yang tau. Masa depan adalah misteri.

Seorang Bunda keluar dari ruangan dalam dan menghampiriku. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah. Bunda itu tak lagi muda. Terlihat jelas kulit-kulit wajah dan tangannya yang tak lagi kencang. Aku mencium tangannya. Bunda tersenyum diselimuti duka yang mendalam.

Suasana masih sangat kaku hingga beberapa menit setelahnya semua pun mulai mencair. Tiba-tiba saja ia pergi, ucap Bunda memecah keheningan. Aku mulai mencoba merangkai kata yang tepat untuk berbicara sesuai apa yang sedang hati Bunda rasa. Ah, aku tak pandai. Aku diam.

Setelahnya. Tidak ada pertanda apapun. Kemarin kekasih hatinya masih pergi ke masjid dan mengikuti tahlilan tetangga dekat rumah. Ayah masih sehat, tak ada keluhan apapun sampai hari mulai berganti. Nafas Ayah sesak, tutur Bunda. Pandangan Bunda kembali ke beberapa hari yang lalu dimana Allah menjemput pendamping hidupnya selama ini untuk selamanya. Di pagi yang gelap itu Ayah dibawa ke rumah sakit. Tak ada siapa-siapa. Harus meminta tolong pada siapa pun Bunda bingung. Alhamdulillah, memang saudara terdekat adalah tetangga. Ayah dibawa ke rumah sakit dengan mobil tetangga.

Ayah sudah tidak ada. Bunda sendiri, keluhnya padaku sore itu. Rasa kehilangannya begitu dalam. Matanya letih dan memerah. Air mata sudah habis.

Ayah sudah tidak ada. Bunda sedih. Delapan anak Bunda tidak ada disisi. Delapan anak Bunda tidak ada yang mendampingi ketika Ayah dijemput Sang Pemilik Hidup. Delapan anak Bunda berjuang dengan karirnya masing-masing di berbagai kota di negeri ini. Bunda sendiri. Bunda sedih. Bunda tak ingin sendiri di rumah. Bagaimana Bunda nanti tanpa Ayah? Tanyanya sore itu. Aku tetap diam. Sulit. Batinnya semakin berkecamuk ketika Bunda ucap bahwa Bunda pun tak ingin membatasi langkah kaki kedelapan anaknya yang juga sebenarnya sedang berjuang untuk kebahagiaan Bunda disini, di kota kecil, sangat kecil, yang diapit sawah-sawah hijau yang panjang.

Bunda, ikhlas. Bunda akan bertemu dengan pujaan hati Bunda di syurgaNya kelak. Aamiin.

Tak kuasa air mata ini jatuh. Teringat masa laluku yang meninggalkan Bunda lama demi sebuah gelar sarjana. Kemudian teringat ego, tak pernah puas. Teringat cita-cita dan tekad yang dulu bulat ingin berkarir di kota atau bahkan Negara yang berbeda dengan dimana Bunda tinggal.

Kita punya Bunda. Kita akan menjadi Bunda. Bismillahirrahmanirrahim. Semoga Allah SWT menuntun kita dan anak-anak kita kelak, aamiin.

Untuk Bunda dan calon Bunda, termasuk penulis, Semoga bisa mengambil hikmah dari sebuah kisah nyata ini.

24 Februari 2012
00.49 WIB
(penulis masih belum ngantuk sedikit pun -_-')

No comments:

Post a Comment